Tanpa terasa, hari – hari berlalu begitu saja. Adakalanya, aku merindukan kehadiran Beraja. Kadang terbayang sosoknya yang sedang tertawa...atau menangis. Pada kenyataannya, aku tak pernah melihatnya lagi, dimana pun...
Lalu pada minggu siang di akhir bulan Maret, kulihat Ori tengah berdiri di depan tempatku bekerja. Kami makan siang bersama saat jam istirahat siang tiba. Dia tampak sering terdiam.
“Bagaimana hidupmu sekarang?” Tanyanya tenang.
“Baik. Kurasa aku mulai terbiasa.” Aku berhenti mengunyah melihatnya begitu serius.
“Syukurlah kalau begitu. Kurasa tuan Beraja pun sudah mulai terbiasa.” Dia tersenyum, ketir. Firasatku mulai tak enak.
“Ada apa dengan Beraja?” Tanyaku mulai curiga.
“E, tidak. Hanya saja, sepertinya diapun mulai membiasakan dirinya tanpamu. Kadang dia memanggil namamu karena lupa kau sudah pergi.”
Aku terdiam mendengarnya. Mungkin hal itu akan menjadi lucu jika kami tidak berpisah dalam keadaan seperti ini.
“Syukurlah kalau dia baik-baik saja.”
Ori tersenyum. Namun entah kenapa sepertinya dia menyembunyikan sesuatu. Aku tak berani menanyakannya. Dalam hati kecilku, aku merasa takut. Aku takut mendengar sesuatu yang tak ingin kudengar.
Hingga berminggu-minggu kemudian, aku tak pernah bertemu dengan Beraja lagi di sekolah. Sepertinya waktu tak pernah mempertemukan kami lagi. Entah dia menghindariku, atau memang belum saatnya kami bertemu lagi...
Sebentar lagi kami akan sama-sama lulus dan mengejar impian masing-masing. Hal itu cukup menyibukkan dan menyita perhatianku. Tiap hari terasa sangat melelahkan karena kerja paruh waktu dan belajar. Berkali-kali aku meyakinkan diriku bahwa semua berjalan dengan baik. Kau lihat? Tak ada apa-apakan? Keputusanmu tidak salah...
Aku berjalan. Entah kenapa sepertinya jalanan ini begitu sepi dan kosong. Sejauh mata memandang, yang kulihat hanya jalan panjang yang tampak tak berakhir. Di kiri dan kananku terhampar padang yang luas dan gersang. Sepertinya hatiku terasa pilu dan sepi. Tanpa sadar aku menangis.
“Chii...”
Suara itu...
“Chii...”
Beraja...?
Di depan sana, tampak sosok belakang Beraja dengan pakaian serba putih yang terus berjalan meninggalkanku. Dia menoleh dan tersenyum untuk sesaat, lalu berjalan lagi tanpa menungguku.
“Beraja! Tunggu!!”
Aku berlari mengejarnya, tapi dia selalu tampak semakin jauh.
“Beraja...”
Kali ini dia berhenti.
Jalanan ini sudah berakhir. Di ujung sana, ada tebing curam dengan lautan biru tua yang luas yang dipenuhi kabut dan deburan ombak. Angin bertiup sangat kencang.
“Aku ingin pergi Chii...”
Beraja membalikkan badannya ke arahku. Membelakangi lautan di balik tebing yang curam itu.
“Beraja...”
Aku berjalan mendekatinya.
“Aku harus pergi...”
Dia tersenyum dan menjatuhkan dirinya ke bawah!
“Berajaa!!!”
Mimpi itu tiba-tiba saja datang. Membuatku merasakan firasat yang semakin kuat bahwa memang ada sesuatu yang terjadi padanya.
Hari itu aku tak bisa menahan diri lagi. Saat aku bergegas untuk pergi ke rumah itu lagi, Ori sudah bediri di depan kamarku. Kedua matanya berkaca-kaca. Aku terpaku di hadapannya seperti membeku. Benar...ternyata benar...
“Sudah lima kali, dia berusaha bunuh diri...” Mendengar itu aku tersentak!
“Apa??”
Ori menghapus airmatanya. Dia menggenggam tanganku dengan kuat.
“Dia sangat hancur Shita...” Airmatanya menetes lagi.
“Jangan bersikap egois lagi. Kumohon bantulah dia. Dia...sudah seperti mayat hidup...”
Pikiranku terasa kosong. Sepertinya ada yang sakit. Sakit sekali...
Langit sore berwarna jingga itu, terlihat dari balkon kamarnya yang terbuka. Dia sedang berdiri di sana hingga yang bisa kulihat hanya sosok belakangnya. Tubuhnya mengurus...rambutnya berantakan...dia tampak begitu rapuh.
“Beraja...” Suaraku hampir tak bisa keluar.
Perlahan, dia menoleh. Dia menatapku tanpa bicara sedikit pun. Namun dari mulutnya mengembang sebuah senyuman. Senyuman yang sangat lemah.
“Dasar bodoh...” Aku tak kuasa menahan airmata yang jatuh. Hatiku terasa hancur. Wajahnya tampak sangat pucat. Di pergelangan tangannya, ada perban yang melilit dengan noda darah.
“Chii...” Dia tersenyum.
Aku menghampirinya yang terpaku.
“Apa yang kaulakukan?!” Aku menatapnya dengan marah.
“Kau mengunjungiku...kau pasti rindu padaku, kan?” Dia mengalihkan pembicaraan sambil tersenyum tipis.
“Kenapa kau seperti ini?” Kupegang kedua lengan tangannya.
“Aaw....” Dia merintih pelan.
Aku tersentak. Sementara dia hanya terdiam menatapku. Tak berbicara sepatah kata pun lagi. Perlahan, kulepas pegangan tanganku padanya.
Kami saling menatap. Entah kenapa sepertinya semua ini terasa maya. Aku berada di dekatnya, tetapi sepertinya kami berada di tempat yang sangat jauh. Aku jadi teringat mimpi itu.
“Jangan membuatku seperti seorang penjahat.” Ucapku.
“Memangnya ada apa denganku...?” Dia membalikkan badannya dan melangkah kembali ke dekat jendela.
“Kenapa kau seperti ini?”
“Hidupku sudah seperti ini sebelum kau datang...” Katanya.
“Terus...” Aku menghampirinya.
“Apa yang telah kaulakukan? Bunuh diri?!” Aku berdiri di hadapannya dan memaksanya melihat ke arahku.
“Hmmmm.” Dia mengulum senyum seakan menahan tawa.
“Beraja?” Aku menatapnya tak mengerti.
“Aku sudah mati, Chi. Dari dulu. Aku hanya kesal kenapa tubuh ini terus saja bergerak...” Dia mengalihkan pandangannya dariku, membalikkan badannya dan menatap keluar jendela.
“Untuk apa aku terus seperti ini, Chi? Tak ada alasan untuk membuatku bertahan di dunia ini lebih lama lagi. Tak ada yang hidup bagiku...” Pandangannya menerawang ke langit sore. Serapuh itukah dia kini?
“Kalau begitu lakukanlah sesukamu!”
Aku melangkah meninggalkan ruangan itu dengan marah dan kecewa.
“Adikku...hari ini dia baru merayakan ulang tahunnya yang ke 12...” Katanya tiba – tiba.
Aku berhenti melangkah.
“Orangtuaku mengadakan pesta untuk merayakannya. Katanya, pesta itu sekalian untuk merayakan pernikahan kakak lelakiku di bulan Mei.” Lanjutnya.
Aku menoleh ke arahnya. Dia masih menatap langit.
“Lalu aku...aku satu – satunya yang terlupakan. Aku bahkan tidak ingat wajah kedua saudaraku. Parahnya, mereka bahkan tak tahu kalau aku ada...sungguh keluarga yang aneh, ya?” Dia tertawa kecil. Sejenak dadaku terasa sesak.
“Lalu tolong beritahu aku Chii...apa aku masih boleh hidup? Apa aku cukup berharga?” Dia menoleh padaku sambil tersenyum.
Aku tak bisa berkata apa – apa. Hanya airmataku yang jatuh. Ya...lelaki ini begitu hancur...hancur...dan aku pergi darinya...
Wajahnya di balik langit sore itu tak pernah bisa kulupakan. Kami hanya saling bertatapan tanpa bicara atau bergerak sedikitpun. Baru kali itu, aku melihat dia meneteskan airmata lagi walaupun tanpa isakan. Benarkah? Benarkah hatimu sesakit itu...? Ingin rasanya aku berlari memeluknya, tapi aku takut dia akan hancur, karena dia tampak begitu rapuh. Seumur hidupku, baru kali itu aku merasa kuat dan ingin melindungi seseorang...
No comments:
Post a Comment