WELCOME TO MY ORIONKA

I've started to write since I was in Junior high, inspired by mangas...also as an escape from all 'school' and home' stuffs. It's always amazing how you drawn yourself in stories...feels like you live in different kind of world, being someone and somewhere else...

Saturday 15 May 2010

Chapter IV - Please release me...

Sebulan kemudian,


Kesendirian sudah menjadi kebiasaanku. Satu – satunya hal yang menyenangkan bagiku sekarang adalah melihat pergantian senja. Kamar pelayan yang kutempati kini memberikan pemandangan yang indah. Dari jendela, bisa kulihat langit dengan jelas.

Akupun tak pernah ke ruang baca lagi, tempat aku dan Beraja selalu menghabiskan waktu bersama. Rasanya tempat itu sudah tidak berhak untuk kumasuki lagi. Kadang, aku melihatnya tertidur di sana, seperti biasa, dia lupa membuka kacamatanya. Kadang tangan ini bergerak dengan sendirinya, mencopot kacamata itu dari wajahnya, atau menutupkan korden saat matahari siang yang terlalu terik selalu mengganggu tidur siangnya. Sepertinya tangan ini sudah terlalu familiar dengan segala hal tentang dirinya.


“Chika, tuan Beraja memanggilmu.” Gina, salah seorang pelayan yang seumuran denganku mendatangiku di dapur pagi ini.

Hari ini entah ada apa, tiba – tiba dia memanggilku. Pekerjaanku yang sudah diambil alih Gina, sudah beberapa waktu ini berjalan. Sudah lama aku tidak bertemu dengan Beraja, atau sekedar berpapasan pun tidak. Sepertinya kami sama-sama selalu mencoba untuk menghindari waktu dimana kami selalu bertemu.


“Tok! Tok!” Kuketuk pintu kamar itu dengan pelan.

“Masuk.”

Saat kubuka pintu itu, dia terlihat masih berbaring dalam balutan kimono tidurnya. Matanya terlihat masih mengantuk.


“Anda memanggil saya?” Tanyaku tenang.

“Kau pikir apa lagi?” Ucapnya dingin.

“Anda menginginkan sesuatu?”

Tiba – tiba dia tertawa. Dia menatapku sambil bersandar pada kepala tempat tidurnya.

“Kenapa tertawa?”

Kami bertatapan dengan dingin.

“Apakah sebegitu marah dan terlukanya hingga kau bersikap seperti ini?” Tanyanya sambil tersenyum sinis. Kuhela napas panjang.

“Saya banyak pekerjaan. Jika hanya ini...”

“Kau marah?” Potongnya.

Aku menatapnya.

“Apa yang anda inginkan?” Tanyaku ketus.

“Ori membuka korden dan sinar mataharinya membuat mataku sakit. Maukah kau menutupkannya untukku?” Pintanya.

Kulangkahkan kakiku ke arah jendela. Kututup korden panjang itu tanpa mempertanyakan apa – apa lagi.


“Tertangkap!”

Tiba – tiba Beraja memelukku dari belakang!

“Apa yang kaulakukan?!” Aku berusaha memberontak, tapi dekapannya begitu kuat.

“Beraja?!”

Dia terdiam. Dia hanya mendekapku sambil terdiam.

“Kumohon, tetaplah seperti ini untuk beberapa menit.” Pintanya hampir berbisik. Napasnya terasa hangat di leherku...

“Aku kangen...aroma tubuh Chii...” Bisiknya.

“Aku bukan Chii lagi, lepaskan.”

“Kalau begitu kau patuh saja padaku.” Dia membalikkan tubuhku hingga menghadap ke arahnya. Aku menatap mata lembut itu lagi. Mata yang sudah lama berpaling dariku...

“Dasar egois...” Belum sempat aku memakinya, dia menciumku!! Aku berusaha untuk melepaskan diri, tapi dia semakin menjadi!

Baru kali ini dia bertindak seberani ini terhadapku. Aku terpojok ke jendela dan tubuhku sama sekali tak bisa bergerak!

Dia mulai mencium leherku.


“Hentikan!!” Aku mulai berteriak cukup keras!

Suasana hening...dia berhenti...

“Bagaimana? Bukankah kau menginginkannya?” Tanyanya sinis.

Kutatap mata itu dengan tajam. Dadaku terasa sesak! Seperti terhimpit diantara dinding yang sempit. Aku tak bisa bernapas normal lagi karena menahan tangisan, dan itu tidak bertahan lama. Napasku mulai tersengal, airmataku pun mengalir begitu saja...

Beraja tampak terkejut. Dia tak pernah melihatku menangis sebelumnya.

“Chii...”


Aku terduduk lemas di lantai. Kututupi wajahku dengan korden jendela yang dari tadi masih kepegang. Aku tak ingin menangis di depannya seperti ini. Dia benar – benar merendahkanku...

“Chii...” Dia ikut terduduk dan membuka kordennya.

“Aku membencimu...kau tahu?” Aku menatapnya.

Dia terdiam mendengar kalimat itu. Kami bertatapan cukup lama. Aku tak dapat membaca arti tatapannya. Aku jadi sedikit khawatir, jika di saat seperti ini dia kehilangan kendali...

“Apakah kau begitu ingin meninggalkanku...?” Di luar dugaan, ucapannya begitu tenang. Dia beranjak dan berdiri membelakangiku.

“Apa yang bisa kulakukan untuk menahanmu pergi?” Tanyanya mendingin.

“Haruskah aku mengurungmu dan tak membiarkanmu pergi kemana pun?” Lanjutnya mengejutkanku.

“Itu tidak mungkin...Beraja...”

“Aku tak punya cara lain untuk menahanmu di sini kan? Hanya pikiranmu yang tidak pernah bisa kubaca. Bertahun – tahun kepalaku selalu terasa sakit karena mendengar suara – suara hati yang tak kukenal, tapi saat kau ada, semuanya terasa senyap. Aku tak tahu bagaimana bisa kuteruskan sisa hidupku...jika kau tak ada...” Katanya tanpa menatapku. Baru kali ini aku melihatnya segelisah ini.

“Beraja...”

“Tapi kau ingin pergi...aku terluka...” Timpalnya.

Aku menatap punggungnya.

“Aku punya mimpi Beraja...sepertimu. Bagaimana rasanya jika seseorang merebut impian itu darimu?” Tanyaku lirih.

Dia menoleh ke arahku.

“Aku tidak ingin merebutnya darimu. Kau tahu semua orang meninggalkanku...mungkin sekarang giliranmu...mungkin aku dikutuk.” Dia tertawa kecil.

“Aku...tak punya arti lain bagimu, kan? Selama ini kau hanya menganggapku sebagai obat yang bisa mengurangi rasa sakitmu, kan? Hanya itu, kan?” Tanyaku.

Kepalanya menunduk.

“Ya, hanya itu.” Jawabnya pelan.


Sangkaan itu menjadi kenyataan. Entah kenapa, hatiku terasa sakit. Kupikir aku punya arti lebih baginya.

Airmataku mengalir lagi.


Suasana kembali hening. Entah untuk waktu berapa lama...kami saling sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Pergilah, sebelum aku berubah pikiran.” Ucapnya tiba-tiba sambil menoleh padaku.

Aku terkejut dan menatapnya dengan tidak percaya. Dia tersenyum ketir.

“Aku tak mau membuatmu terus menangis...” Katanya lagi.

“Maafkan aku...” Ucapku pelan.

Kami saling menatap dengan kosong...


Aku meninggalkan ruangan itu dengan perasaan hampa. Aku tak tahu apa yang kurasakan...Rasanya semua tampak kabur. Seluruh tubuhku terasa lemas, dan airmataku tak berhenti mengalir...


Masih kuingat, Ori dan yang lainnya mengantar kepergianku, tanpa Beraja. Selama itu, dia menghilang entah kemana. Ada yang aneh. Aku merasa begitu berat saat melangkah. Sepertinya separuh dari diriku tertinggal di sana. Mungkin karena melihat reaksi Beraja yang tak biasa. Aku akan lebih tenang kalau dia memarahiku daripada bersikap tenang. Tapi, separuh diriku menyambut ‘kebebasan’ ini dengan antusias. Aku harus yakin kalau semua akan baik – baik saja. Bukankah ini juga untuk kebaikan dirinya? Dan kebaikanku?


Sudah beberapa hari aku menikmati kesendirianku. Aku menyewa sebuah kamar dan bekerja sambilan di sebuah toko buku setiap pulang sekolah. Butuh waktu untuk menyesuaikan diri, tapi semuanya terasa ringan...walaupun kadang terasa berat.

Selama beberapa malam, aku tak bisa lepas dari mimpi yang sama.


“Dasar anak setan!”

Beraja yang saat itu berumur 5 tahun selalu dikurung di gudang bawah tanah karena ucapannya yang dianggap tidak masuk akal. Kadang dia mengatakan hal – hal yang terlalu aneh, atau...benda – benda di sekelilingnya bisa pecah dan melayang tiba – tiba. Yang lebih parah, dia pernah membunuh anjing kesayangan ayahnya dengan keji karena anjing itu menyerangku. Semua orang merasa takut padanya. Ayahnya orang yang sangat keras, sedangkan ibunya takut pada anaknya sendiri. Akhirnya, mereka pergi meninggalkannya di bawah pengasuhan Ori dan para pelayan di rumah.


Saat aku baru datang ke keluarga ini, ibu cukup dekat dengan Beraja. Ibu sangat menyayanginya karena tahu kalau anak laki-laki itu sebenarnya begitu terluka. Aku menyadari hal itu, saat kedua orangtua dan kakaknya pergi, dia hanya memperhatikan kepergian mereka dari jendela kamarnya yang gelap. Dia tidak menangis...tapi aku tahu mungkin didalam hatinya tidak...karena di malam setelah kepergian itu, aku melihatnya menyendiri di taman belakang...dia duduk di rumput sambil terisak...namun pelan...sangat pelan...disekelilingnya, aku melihat ada beberapa kunang-kunang...dia mungkin tidak memperhatikannya, tapi kunang-kunang itu tetap berada disekelilingnya. Bagiku yang saat itu masih kecil, pemandangan itu terasa sangat indah. Dalam pikiran masa kanak-kanakku, mungkin kunang-kunang itu tahu kesedihan hatinya dan ingin menemaninya...


Kedatanganku di masa – masa kritis hidupnya mungkin menjadi pengikat diantara kami. Kami seperti saling bergantung. Tetapi, akhir – akhir ini aku menyadari kalau kami tak bisa terus seperti ini. Terus bersama hanya akan membuat masing – masing menjadi lemah. Karena itu, perpisahan ini mungkin harus terjadi demi kebaikan kami berdua...

No comments:

Post a Comment