WELCOME TO MY ORIONKA

I've started to write since I was in Junior high, inspired by mangas...also as an escape from all 'school' and home' stuffs. It's always amazing how you drawn yourself in stories...feels like you live in different kind of world, being someone and somewhere else...

Saturday, 15 May 2010

Chapter III - Self Deception

Minggu siang ini dia mulai kembali melakukan aktivitas rutinnya lagi. Setelah mencampakkan Flora, dia selalu membaca dan mengurung dirinya di ruang baca.
Berkali-kali Flora datang ke rumah ini dan mengharapkan Beraja, tapi lelaki itu bersikap masa bodoh seperti biasanya. Entah berapa kali dia membuat semua gadis yang dipacarinya berpikir bahwa Beraja benar-benar mencintai mereka. Flora bahkan telah membatalkan pernikahan dengan tunangannya. Ya tuhan, apakah lelaki ini memiliki hati?

“Harusnya hari ini hari pernikahan Flora, kan?”
“Hemm.”
Dia terus membaca tanpa menatapku.
“Lebih baik kau minta maaf padanya, kan?”
“Why should I?”
“Kamu kan sudah...”
“Kalau tunangannya tidak menyuruh para teletubies itu untuk memukulku mungkin aku bisa mempertimbangkannya.”
“Itukan salahmu.”
“Nop, it’s hers.” Dia menatapku dengan lurus.
Selain itu kepalanya sekeras batu.
Ingin rasanya tangan ini bergerak, mencubitnya sekeras mungkin.

Kami terdiam. Aku mencoba untuk menenangkan hatiku. Mungkin ini juga saatnya untuk memberitahunya tentang keinginanku...
“Tentang...masuk universitas, aku ingin menentukannya sendiri.” Ucapku hati-hati.
Dia kembali menatapku.
“Aku sudah memilihkan universitas yang bagus, aku yakin kita berdua bisa memasukinya.” Katanya tenang.
“Bukan begitu, tapi...”
“Kau tak percaya padaku? Di universitas ini kau bisa memasuki fakultas sastra terbaik dan aku akan masuk fakultas Hukum yang kuinginkan.”
“Aku tak mau masuk ke sana. Aku sudah menentukan kemana aku akan kuliah.”
Kami bertatapan. Wajahnya tampak tak berekspresi.
“Aku sudah menyewa apartemen untuk kita berdua, kau pasti menyukainya.” Dia mulai mengalihkan pembicaraan, mencoba untuk tak peduli dengan apa yang kukatakan.
“Beraja...”
“Oh, atau kau ingin kita kuliah di dalam negeri saja? Aku sudah punya rekomendasi yang bagus.” Dia kembali membaca bukunya.
“Dengarkan aku.”
“Kau mau kita disini saja?”
“Aku tak akan menyerah kali ini.” Potongku sambil menatapnya.
Dia terdiam.
“Aku sudah memutuskan, aku ingin menempuh jalanku sendiri kali ini.” Ucapku lagi.
Dia masih terdiam.
“Bukankah akan menyenangkan jika kita mengejar mimpi kita masing-masing? Aku janji akan berusaha keras.”
“PRAAKK!!!” Tiba – tiba sebuah gelas kristal di sampingku pecah hingga berhamburan ke udara!
Waktu seakan berhenti untuk sesaat...
“Kau tak boleh membuangku seperti mereka!” Bentaknya.
Aku menatapnya dengan kaget.
Sejenak mulutku terasa kelu.
“Aku tak mau kita terus saling bergantung..” Ucapku pelan.
“Kalau begitu jangan pergi kemanapun!” Dia menarik tanganku dengan kasar.
“Beraja?!”
“You are...my maid! Kamu cuma anak pelayan dan kamu harus patuh padaku!” Sikapnya mulai kasar.
“Aku tak memberimu pilihan. Mau tak mau kau harus menemaniku di sini, seumur hidupmu!” Dia melepaskan tanganku dengan keras dan meninggalkanku sendirian di ruangan itu.

Anak pelayan. Ya...cuma itu satu – satunya hal yang mengikatku padanya. Kalau bukan karena permintaan terakhir ibuku...dan perasaan ini...aku pasti sudah pergi. Karena betapapun dekatnya kami, pada akhirnya aku hanya seseorang yang harus ada disisinya. Bukan karena dia menginginkanku disisinya, tapi karena aku harus bersamanya.

Hari – hariku di sekolah bertambah sibuk. Semua orang mulai menentukan pilihan mereka untuk masuk ke universitas. Tanpa terasa, sebulan sudah berlalu.

Aku dan Beraja, jarang sekali bertemu. Kesepian itu mulai datang saat aku menyadari, Beraja menjaga jarak denganku. Mungkin dia ingin membangun kembali dinding itu. Dinding yang seharusnya dari dulu telah memisahkanku dan Beraja. Hampir setiap hari dia pulang saat fajar, dan dia tak pernah mengajakku bicara lagi. Dia benar-benar marah.

Suatu hari, dia menyimpan brosur tentang universitas yang dipilihnya di meja belajarku. Saat aku mengembalikannya lagi padanya, dia marah besar.
“Aku ingin memutuskannya sendiri.”
“Sudah kubilang kau harus mematuhiku.”
“Apa hakmu mengaturku?”
“Ada! Selama ini akulah yang membiayai sekolahmu!”
“Itu adalah gajiku selama bekerja di sini!”
“Jangan membantah!”
Dia menatapku dengan tajam. Kaca di kamarnya mulai meretak, dan terus makin melebar.
Aku meninggalkannya di kamar itu tanpa berkata apa-apa lagi. Tanpa sadar aku menangis.

Sejak hari itu hubunganku dengan Beraja bertambah buruk. Kami semakin jarang bertemu apalagi berbicara.
Adakalanya, aku merindukan suara yang memanggil namaku dengan caranya sendiri. Chii...Chii...
“Chika?” Suara itu membangunkanku.
“Kenapa kau tidur di sini? Pindahlah, ini sudah jam 11 malam.” Ori sudah bediri di dekat sofa tempatku tertidur.
“Apa Beraja sudah pulang?” Tanyaku sambil beranjak.
“Belum.” Kami berdua menoleh ke arah jam dinding. Sudah beberapa hari dia melakukan aksi seperti ini.

Sejak pertengkaran tempo hari, dia semakin tak bisa dikendalikan. Saat merasakan sakit, dia akan mendengarkan lagu kesukaannya keras – keras dibalik earphone-nya. Saat – saat dimana aku selalu terlibat, dia tak pernah menginginkanku berada di sana lagi. Sepertinya dia menghindari pembicaraan apapun denganku.

“Cip! Cip! Cip!”
Suara burung – burung di halaman berkicau sangat nyaring. Aku terbangun dari tidur. Kubuka kedua mataku perlahan, lalu menggeliat sepuasnya...
“Ya, Tuhan!” Aku terperanjat kaget mendapati Beraja tengah duduk di kursi dekat tempat tidurku. Dia menatapku dengan tenang.
“Sejak kapan kamu di sini?” Kubetulkan piyamaku yang berantakan.
“Kamu lucu ya kalau tidur?”
Dia tersenyum.
“Jangan mengalihkan pembicaraan.” Aku menatapnya.
“Jam satu pagi.” Dia mengangkat dan meluruskan kedua kakinya ke tepi tempat tidurku.
“Apa kamu tidak malu? Diam-diam tidur di kamar perempuan...”
“Aku nggak tidur. Cuma mandangin kamu tidur.” Katanya tegas, namun enteng.
“Bisakah kamu keluar?” Kupalingkan wajahku.
“Sejak kapan seorang maid memerintah majikannya?” Sindirnya.

Suasana hening. Aku terdiam sejenak, lalu menoleh ke arahnya. Dia menatapku dengan tajam. Dia benar – benar ingin membangun dinding itu. Dia mencoba mengingatkanku tentang kedudukanku. Sejenak hatiku terasa pedih.
“Aku melarangmu tinggal di kamar ini lagi, tapi di kamar belakang, tempatmu yang seharusnya.” Katanya tenang.
Aku tetap terdiam menatapnya. Baiklah, kau akan mendapatkan seorang maid seperti yang seharusnya.
“Satu hal, aku tak pernah meminta semua ini darimu. Jadi kau tak berhak mengusirku, karena aku akan melakukannya sendiri.”

Pagi itu, seperti akhir dari segalanya. Kami saling menatap tanpa berkata apa – apa lagi. Aku tak tahu apa yang ada di pikirannya. Kali ini sikapnya benar-benar berubah padaku.

Aku memindahkan barangku ke salah satu kamar pelayan di rumah ini. Perubahan ini menjadi pembicaraan para pekerja di rumah. Pekerjaanku untuk membereskan ruang baca pun sudah digantikan oleh Ori. Kini tugasku adalah membersihkan toilet-toilet di rumah.

Sudah beberapa hari ini hujan turun dengan deras. Aku berjalan sendirian di bawah payung setelah jam sekolah usai. Basah kuyup.
“Brushh!!” Mobil yang lewat di sampingku membuatku tambah basah kuyup.
Air jalanan tepat mengenai wajahku. Mobil Beraja. Dia sengaja melewati genangan air di dekatku. Aku menatap mobilnya yang berlalu.

“Dia itu putra tuan besar. Kau tak boleh menganggapnya sebagai teman biasa. Walaupun kalian dekat, kedudukannya tetap berbeda dengan kita.” Suatu hari ibu pernah mengingatkan hal itu padaku, tapi aku tak pernah menghiraukannya karena Beraja tak pernah memintanya. Kini aku mengerti arti dari ucapannya. Aku melambung terlalu tinggi. Menganggap Beraja tak akan pernah berubah.

“Ada tamu. Tuan Beraja memintamu membawakan minuman ke ruang bacanya.” Begitu aku pulang, Ori sudah menungguku di depan pintu.

Aku terkejut mendengar Beraja membawa seseorang ke ruang bacanya. Tapi aku tak heran jika dia memang bisa melakukannya. Mungkin saat ini, dia memang sudah benar-benar hilang dan tak ingin berurusan denganku lagi.
“Aku masih basah kuyup, aku akan ganti baju dulu.”
“Chika?” Ori menyentuh pipiku.
“Ada apa antara kau dan tuan Beraja? Kamu kenapa? Kenapa sikapnya begitu berubah?” Tanyanya.
Aku hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.
“Dulu dia begitu menyayangimu, tapi akhir – akhir ini sikapnya sangat kasar...”
“Dia sudah pergi Ori...”Ucapku.
“Apa maksudmu?”
“Beberapa hari yang lalu kami bertengkar, dan dia menyinggung tentang kedudukanku di rumah ini.”
Mendengar itu Ori tampak kaget.

Kudengar suara dari ruang baca di lantai tiga. Dengan hati – hati, kubuka pintu itu sambil membawa nampan minuman.
Kedua mataku langsung terbelalak melihat pemandangan didepanku. Tanpa sadar, nampan itu terjatuh.
“Prankk!”
“Apa kau tidak bisa mengetuk pintu dulu?” Beraja menoleh padaku dengan tenang.
“Ma-maaf...” Kuambil pecahan gelas itu dengan cepat hingga jariku tersayat.

Wanita yang bersamanya bukan Flora. Siapa dia? Sepertinya dia seorang wanita dewasa.
Dengan tenang mereka kembali berciuman di sofa itu. Kupejamkan kedua mataku sambil beranjak pergi.
“Tidak usah membawa minuman lagi. Kami tidak ingin diganggu.” Suara Beraja terdengar. Aku berhenti melangkah dan menatapnya di balik cermin.
“Kalau begitu sebaiknya anda mengunci pintu.” Ucapku ketus sambil berlalu meninggalkan ruangan itu.

Aku tahu Beraja akan senang melihat kemarahanku. Dia akan merasa menang. Tapi...kenapa aku harus menangis? Kenapa hatiku terasa sakit? Aku tak pernah peduli dengan seribu gadis yang pernah dipacarinya, tapi membawa mereka ke ruang baca ini tak pernah sekalipun dilakukannya. Aku merasa bodoh karena merasa cemburu pada seseorang yang tidak mungkin mencintaiku...

No comments:

Post a Comment