WELCOME TO MY ORIONKA

I've started to write since I was in Junior high, inspired by mangas...also as an escape from all 'school' and home' stuffs. It's always amazing how you drawn yourself in stories...feels like you live in different kind of world, being someone and somewhere else...

Saturday, 15 May 2010

Flying Fireflies Chapter II - When He Falls in Love

Ruangan baca yang terletak di lantai dua rumah ini adalah tempat dimana kami selalu berbagi waktu. Dia seorang kutu buku yang lolos dari jeratan minus kacamata. Walaupun begitu, dia selalu memakai kacamata tanpa min-nya saat membaca, katanya biar lebih menghayati. Seringkali dia menghabiskan tidur siangnya di sofa ruangan ini saat weekend dengan kacamata yang lupa dilepasnya atau buku yang masih dipegangnya. Jika matahari yang menembus kaca bersinar terlalu terik, dia akan langsung terbangun karena membencinya. Di ruangan ini, tak ada batas apapun diantara kami. Dia adalah Beraja yang selalu terlihat ada di sana. Beraja yang selalu tersenyum saat melihatku masuk, Beraja yang menyebalkan dan menyenangkan.


Kadang, aku suka memperhatikan wajahnya ketika sedang tertidur disana. Wajahnya unik karena memiliki darah campuran dari ayahnya yang Yunani-Perancis dan ibunya yang Indo-Jepang. Matanya tajam menyipit namun berwarna kebiruan, kulitnya putih asia,namun rambutnya hitam pekat, tidak heran kalau banyak orang tertarik padanya. Namun dia sulit sekali untuk disentuh. Dia sangat pemilih tentang siapa orang yang bisa ada disisinya. Karena itu dia seperti misteri bagi kebanyakan orang, termasuk bagi wanita-wanita pemanis dalam hidupnya...


“Aku jatuh cinta.” Beraja menatapku dengan antusias.

Aku terkejut. Sejenak aku terdiam.

“Siapa lagi?” Tanyaku sambil menghela napas.

“Flora.”

Mendengar itu aku langsung menatap tepat di matanya. Ya Tuhan, Flora??

“Aku tahu. Ini tak akan bertahan lama kok.” Potongnya sambil memainkan poni rambutku. Kuhela napas panjang.

“Kenapa harus selalu hal yang sama lagi?itu maumu?” Aku menatapnya.

Dia terus memainkan poni rambutku tanpa menjawab pertanyaanku.

“Bisakah kau melepaskan rambutku?”

“Nggak!” Dia menggeleng tegas. Tangannya beralih pada CD player dan mulai memutar lagu kesukaannya. Etude 3, chansion de ladieu karya Chopin.


Dia menarik tubuhku dan memelukku dengan lembut dan erat. Dahi kami mulai bersentuhan. Kami bertatapan, membuatku merasakan cinta lagi.

“Aku tak pernah kesepian, karena ada Shi. Jika kau pergi...aku bisa mati. Chii...Chi-ku...” Dia mengecup dahiku.

“Suatu hari nanti aku harus pergi Beraja...”

“Nggak...”

“Kau tak bisa mencegahku...”

“Nggak...” Dia menggelengkan kepalanya.

“Beraja...” Aku menatapnya.

Dia terdiam. Matanya mulai menatapku dengan sayu.

“Suatu hari itu harus terjadi, kan? Kau akan menjalani hidupmu bersama orang – orang yang baru, begitu pun denganku.” Ucapku hati – hati.

“Akan kucari. Akan kucari kamu kemanapun.” Tatapannya mulai menajam. Aku terdiam. Tak mengatakan apapun lagi. Aku tak ingin membuatnya lebih marah.


“Kumohon jangan pergi...” Dia kembali memelukku.


Rapuh. Bukankah orang yang seperti ini rapuh? Seperti tak mampu berjalan disaat tak ada yang menuntun, seperti menginginkan sesuatu tanpa tahu apa yang diinginkannya, seperti tak ingin kehilangan yang hampir posesif namun tetap merasa tidak tenang. Dan aku...hanya bisa terus berada disampingnya seperti ini.

Sejak saat itu, Beraja mulai menjalin hubungan dengan Flora. Guru privat muda dan cantik yang mengajarinya bahasa Latin. Wanita yang usianya lebih tua 7 tahun darinya itu sudah memiliki tunangan dan akan menikah 3 bulan lagi. Kukira mereka benar-benar sudah gila! Walaupun begitu, Beraja tak pernah sekalipun memperbolehkannya memasuki ruang baca. Tak ada seorangpun yang boleh memasukinya kecuali kami berdua. Ruangan itu seperti rahasia yang kami simpan tentang dirinya.


“Dia masih belum pulang?” Ori memasuki dapur dengan kimono tidurnya.

“Belum.” Jawabku singkat sambil menutup majalah yang baru kubeli hari ini.

“Inikan sudah larut. Kurasa wanita itu benar-benar penyihir.”

Ori menuangkan air dingin ke dalam gelasnya.


Aku cuma tersenyum mendengarnya. Ya, kurasa hidup benar-benar aneh. Seseorang bisa mengorbankan sesuatu yang berharga hanya untuk kesenangan sesaat. Kupikir dia payah, dan Beraja apa lagi. Dia hanya lelaki egois yang tidak akan berpikir panjang kecuali apa yang bisa membuatnya senang saat ini.


“Bagaimana sekolahmu?” Ori duduk di sampingku.

“Lancar, kurasa aku harus mulai memikirkan kemana aku akan kuliah.”

“Kau belum memikirkannya?”

“Belum,” aku menggeleng.

“Kurasa Beraja tidak akan membiarkanku jauh-jauh darinya. Dia bilang aku harus kuliah di tempat yang sama dengannya.”

Ori menghela napas.

“Apa seumur hidup aku harus seperti ini, Ori? Apa dia akan selalu bersikap egois seperti ini padaku?”

“Bersabarlah.”

Ori memegang tanganku.


Aku selalu merasa seperti sedang bersama ibuku ketika sedang bersamanya. Ori adalah seorang wanita yang tangguh. Umurnya 49 tahun namun masih terlihat seperti berumur 30-an. Garis matanya tegas dengan tubuh ramping yang tegap. Dia sudah mengabdi kepada keluarga ini sejak masih sangat muda. Dia hampir sama sepertiku, mengikuti keluarga ini karena merupakan anak dari kepala pelayan sebelumnya.


Tak lama kemudian, mobil Beraja sudah terdengar di depan. Tanpa menunggunya masuk, aku pergi ke kamar dan meninggalkan Ori yang masih duduk di kursi pantry.

“Bilang saja aku sudah tidur.” Pesanku sambil menaiki tangga.

Ori cuma melingkarkan telunjuk dan jempolnya sambil tersenyum.


Sudah pukul 1 malam dan besok ada ujian, tapi Beraja tampak tak peduli. Anehnya, dia selalu mendapat nilai bagus. Dia terlalu pintar untuk kunasehati.

Aku berbaring di tempat tidur. Hari ini terasa sangat membosankan karena tidak ada Beraja di rumah. Dia terlalu sibuk dengan ‘mainan’ barunya.

“Tap..tap...”

Langkah kakinya terdengar.

“Brukk!!” Suara itu mengejutkanku.

“Tuan?!”

Suara Ori membuatku tambah panik! Tanpa berpikir apa-apa lagi aku segera keluar dari kamar.


Kulihat Beraja tengah terbaring di koridor dengan keadaan penuh luka.

“Ya Tuhan! Apa yang terjadi?”

“Panggil ambulance!” Ori menatapku sambil mengangkat kepala Beraja ke pangkuannya.

“No, stop...aku nggak apa-apa...” Beraja membuka matanya sambil meringis kesakitan.

“Bodoh, bagaimana kalau ada tulang yang patah atau retak?” Aku menghampirinya.

“Bloody noisy...” Dia mencoba untuk bangkit dari duduknya.

“Tuan?!” Ori memelototinya.

“Aku cuma dipukul beberapa orang, tenang saja, aku nggak akan mati gara-gara pukulan teletubies...” Dia menepis tangan Ori yang memeganginya.

Aku hanya bisa menatapnya dengan heran. Tunangan Flora pasti mengetahui hubungan mereka. Sudah kuduga akan seperti ini jadinya.


Malam itu aku mengobati luka memar dan sobek di wajahnya.

“Auch! Easy...hey...” keluhnya.

“Diaam...” aku mulai memelototinya.

“Torturer...” Dia menatapku.

“Kalau nggak mau seperti ini, berhentilah mencari masalah. Kau tahu Flora akan menikah, kau tahu dia...”

“Sssttt,” telunjuknya menekan bibirku.

“Berisik...” Lanjutnya sambil menutup mata.

“Makanya..”

“Sssttt.”

“Kamu..”

“Sssttt.”

“Jangan..”

“Sssttt.”

“Hei, dengarkan aku...”

Dia tak mempedulikanku. Dia malah berbaring sambil menutup matanya. Aku hanya bisa menghela napas.

“Goodnight.” Usirnya.

“Night...”


Aku tak tahu apakah ini kehidupan yang normal. Selama 13 tahun ini, aku tak pernah tahu apa peranku. Andai saja aku tak pernah melangkah masuk ke rumah ini, mungkin aku bisa menjalani hidup yang berbeda. Ada sebagian dari diriku yang menyesali keadaan ini, tapi sebagian lagi merasa bersyukur karena telah menemukannya. Orang yang kurasa sama denganku. Selalu merasa sendirian dan hanya bisa saling menopang.


“Kau sudah menentukan pilihan untuk masuk universitas?”

Hari ini pak Yos wali kelasku menyuruhku datang ke kantornya.

“Belum, pak.”

“Dengan nilai-nilai yang kaudapatkan, bapak yakin kau bisa masuk ke universitas yang kauinginkan. Hanya saja bapak agak khawatir akhir-akhir ini karena sepertinya kau belum punya rencana apapun.”

Aku terdiam.

“Pikirkan baik-baik. Beberapa bulan lagi kalian akan segera lulus.”

“Terima kasih. Saya akan memikirkannya.”


Begitu keluar dari ruang guru, kulihat Beraja tengah berjalan menuju kemari. Aku segera menunduk dan berjalan tanpa melihatnya.

“Aku sudah menentukan kita akan masuk kemana. Jangan khawatir.” Katanya sambil lalu.

Aku terdiam. Ingin rasanya aku berbalik dan berbicara padanya. Tolong biarkan aku memutuskannya sendiri! Tapi bibirku seperti terkunci rapat. Aku tak bisa membantahnya. Tidak saat ini...

No comments:

Post a Comment