WELCOME TO MY ORIONKA

I've started to write since I was in Junior high, inspired by mangas...also as an escape from all 'school' and home' stuffs. It's always amazing how you drawn yourself in stories...feels like you live in different kind of world, being someone and somewhere else...

Saturday 15 May 2010

Flying Fireflies Chapter I - Lonely Silhouette

Orang yang paling berarti bagiku itu, memiliki senyuman yang hangat, tatapan yang lembut, namun kadang menyebalkan. Dia tak ingin dimengerti, namun selalu menuntut. Dia selalu tahu apa yang kupikirkan. Saat aku sedih, dia akan menyanyikan lagu romantis yang agak picisan seperti ‘smile...though your heart is aching, smile...eventhough it’s breaking...when there are clouds in the sky...you’ll get by...’ Sosoknya sangat otoriter dan kadang imperialis, tapi dia tak bisa kuabaikan. Tiap kali aku menatapnya, dia selalu melakukan hal gila. Namun seberarti apapun dirinya bagiku, aku hanya bayangan baginya.


“Hujannya deras banget.”

“Hmm”

Aku dan dia duduk di dekat jendela ruang bacanya yang menghadap ke halaman luas. Hujan tak berhenti turun sejak tadi sore. Kini, matahari hampir terbenam.

“Chii...” Panggilnya.

Kami bertatapan. Perlahan wajahnya mendekat...hingga aku bisa melihat kedua matanya yang indah.

“Pipimu makin tembem.” Komentarnya.

“Aku tahu..”

Dia mulai melakukan hal gila. Menciumku dengan tiba – tiba. Kutarik kepalaku ke belakang.

“Hei! Kau kira kau siapa?” Protesku.

Dia tersenyum sejenak.

“Cuma kamu yang nggak balas kalau kucium.” Katanya.

“Lalu kenapa?”

“Aku pe-na-sa-ran.”

“Kamu kira aku siapa?”

“Hey, easy...” Dia tertawa ngakak.

Aku beranjak dari hadapannya dan keluar dari ruangan itu sambil menggerutu.

“O, come on! Masa gitu aja pergi sih?” Dia berteriak dari dalam.

Aku tersenyum dan berlari menyusuri koridor rumahnya yang sepi.

“Chii!” Teriakannya tak kuhiraukan.


Cowok otoriter dan imperialis itu bagaimanapun tetap berarti. Dia seperti dunia bagiku. Memiliki banyak sisi yang tak harus kumengerti. Kadang dia memberikan hari yang cerah, kadang badai yang tak ada hentinya.

Namaku Chika. Sebuah nama pendek yang diberikan ibu. Saat ini aku berumur 18 tahun. Aku seperti gadis biasa lainnya. Bersekolah di bangku terakhir SMA, melakukan hal yang biasanya gadis seumurku biasa lakukan. Yang berbeda, mungkin karena aku berada disampingnya...


“Chika! Kemana saja kamu?! Tuan Beraja mengamuk! Dia pikir kau pergi meninggalkannya!”

Aku berlari sekencangnya ke arah kamar di lantai dua. Di sana, para pelayan tampak kebingungan. Aku baru saja kembali dari acara ulang tahun temanku, lalu tiba – tiba menemukan keributan ini.

“Dia membanting semua barang dan berteriak histeris lagi. Setiap kami mencoba masuk, dia melempar apa saja yang ada di dalam. Saat dia baru pulang dan tidak menemukanmu, dia tampak kehilangan kendali.” Jelas Ori yang mengikutiku di belakang.


Para pelayan di rumah ini memang sudah terbiasa melihat keadaannya yang lebih parah, tapi yang bisa membuatnya berhenti hanya aku. Aku sendiri tak mengerti, kenapa dia membebaniku dengan peran seperti ini.

Tiap kali aku membuka pintu kamarnya yang gelap itu, dan melihatnya terpuruk di sudut ruangan sambil merintih, tubuhku selalu gemetar karena takut.


“Beraja...” Kakiku melangkah pelan mendekatinya.

Kepalanya tertunduk dan terbenam di antara kedua tangannya sambil duduk bersandar di sudut ruangan.

“Berhentilah.” Kutarik kedua tangannya.

Dia mengangkat wajahnya sambil menangis. Dia menahan isakan dan kedua tangannya terasa dingin. Tubuhnya gemetar.

“Berhentilah, aku sudah ada di sini. Aku tidak kemana – mana.” Aku menatapnya dengan lembut.

“Mmmmmmmmm.” Dia menahan isakan dan napasnya mulai memburu.

“Beraja...”

“Per...gi...” Dia menepis tanganku dan kembali menenggelamkan kepala di antara kedua tangannya.

“Baiklah kalau itu maumu. Aku akan pergi dan kau tak akan pernah melihatku lagi.” Ucapku.

“Brugh!”

Dengan keras dia menarik tanganku hingga aku terjatuh ke pelukannya.

“Sakit sekali...saat kau tak ada...rasanya sakit sekali...’dia’ bilang kau akan pergi...” Bisiknya terbata – bata.


‘Dia’ adalah sebutan Beraja untuk kata hatinya. Kata hati yang dia anggap sebagai bagian terpisah dari dirinya. Dia selalu bilang bahwa kata hati adalah musuhnya. Dia selalu berusaha untuk tidak mempercayainya.

Aku balas memeluknya perlahan. Aku berada di sudut ruangan itu untuk waktu yang cukup lama. Seperti mencoba menidurkan seorang anak kecil yang ketakutan karena mimpi buruk.

“Somewhere...over the rainbow...way up high....there’s a land that I’ve heard of once in a lullaby...”


Saat umurku 5 tahun, ibu membawaku ke rumah ini. Rumah dengan halaman luas dan pagar besi yang tinggi. Ibuku yang seorang koki masak di rumah ini diizinkan membawaku tinggal setelah kematian ayah.

Di sini juga, aku menemukannya. Sosok seperti kaca yang terlalu rapuh untuk disentuh.

Sudah tiga belas tahun, aku selalu menemaninya seperti ini. Di saat semua orang menyerah padanya, bahkan kedua orang tuanya. Mereka membuangnya di istana indah ini bersama para pelayan, dan aku.

Saat keadaan normal, Beraja akan menjadi sosok yang sangat berbeda. Semua orang yang tidak mengetahui ‘kelebihannya’ akan menganggapnya sama seperti orang lain. Beraja pun pandai menyembunyikan hal itu. Tak ada seorang pun yang tidak menyukainya. Dia selalu mempesona siapa pun. Semua orang mengaguminya.


Pagi ini, dia melewatiku di dalam mobilnya, dan membiarkanku berjalan sendirian menuju sekolah. Sepertinya kami masuk ke dalam dunia yang berbeda. Kami akan jadi dua orang yang tidak saling mengenal. Dia dengan segala keistimewaan, dan aku...yang hanya seperti bayangan. Namun, di saat tertentu, dia selalu tahu apa yang kulakukan. Di saat aku terluka, atau bersedih, dia akan muncul di hadapanku dan membuatku tersenyum lagi. Walaupun hanya dengan sekedar berpapasan. Lalu cinta, perasaan itu tak kukehendaki, karena dia akan menjauh seperti sosok punggungnya yang berlalu.

No comments:

Post a Comment