I've started to write since I was in Junior high, inspired by mangas...also as an escape from all 'school' and home' stuffs. It's always amazing how you drawn yourself in stories...feels like you live in different kind of world, being someone and somewhere else...
Dulu aku merasa memiliki sedikit cahaya. Dengan sekuat tenaga aku berusaha membuat cahaya kecil itu tetap menyala agar aku dapat melindunginya. Kini, sepertinya cahaya kecil itu hanya menyisakan kehangatannya saja. Aku berjalan sendiri selama 5 tahun ini tanpanya…dan tanpa kusadari aku kehilangan alasan untuk menyala lagi…
Is it worth enough to struggle when every eye uncares?
Will somebody fight when you walk in the hardest path?
Will there be forgiveness when you drawn in the deepest sadness?
Don’t want to be shallow, don’t even want to be hollow
I am what you see now
Fragile and small
Saat umurku menginjak 19 tahun, aku baru mengetahui bagaimana mencintai seseorang. Walaupun aku tak pernah mengungkapkan rasa itu, walaupun dia tidak merasakan hal yang sama, walaupun begitu banyak keanehan dan ketidakwajaran menyertainya...
Aku menemukan cinta itu pada dirinya. Entah kapan semuanya dimulai, yang kutahu, dia sudah terpaku di depan mataku. Aku tak memerlukan yang lainnya, yang kuinginkan, hanya bisa merasakan kehadirannya, keberadaannya di sisiku...
Aku bisa melihat dia seutuhnya. Saat dia menangis atau tertawa. Saat dia merasa lemah atau tegar. Saat dia tersesat atau berusaha mencari. Mungkin yang bisa kuberikan padanya hanya cahaya kecil, sekecil kunang – kunang yang hanya terbang sendirian. Namun kuharap cahayaku cukup berguna baginya di saat – saat tergelap dalam hidupnya...
Kadang aku takut, karena aku hampir melupakan suaranya, caranya tertawa, caranya berjalan, dan bagaimana rasa kehadirannya. Kadang, aku mendengarnya memanggil namaku hingga kukira aku gila. Beberapa hal aneh selalu saja terjadi. Pernah suatu hari, kukira aku melihatnya tengah tertidur di ruang baca. Aku masuk dengan perasaan yang tak terlukiskan, namun ternyata itu hanya ilusi.
Namun, satu hal yang membuatku yakin, di saat kami bertemu lagi, itu akan menjadi hari yang jauh lebih baik. Aku bisa melihatnya tersenyum lebar, melangkah tanpa rasa takut. Kurasa hari itu akan menjadi hari yang paling kunantikan sepanjang hidupku. Terbanglah Beraja, temukan tempatmu untuk berlabuh...lalu kembalilah jika kau mulai merasa lelah, jika kau membutuhkan pundak untuk bersandar, jika kau membutuhkan cahaya kecilku...
Jika sebelum hidup aku boleh memilih, aku memilih untuk tidak dilahirkan. Lalu jika aku ditanya ingin jadi apa, aku hanya ingin jadi udara atau gumpalan awan yang berarak di langit. Aku tak ingin ada. Aku hanya ingin hadir tanpa seorang pun menyadari keberadaanku. Aku bisa bebas, tanpa mempedulikan hal lainnya.
Namun, jika aku terlanjur hidup, aku tak ingin menjadi diriku yang sekarang. Tuhan boleh menjadikanku apapun, asal jangan yang ini.
Kata-kata itu pernah diucapkannya padaku. Sepertinya penuh dengan rasa tidak syukur, tetapi setiap manusia pasti pernah merasakan hal ini kan?
Masih kuingat, bagaimana Beraja ditinggalkan di rumah ini. Dia berdiri di belakang jendela, menatap kepergian orangtua dan kakak lelakinya. Wajahnya tak menampakkan ekspresi apa – apa, dia tidak menangis, atau tertawa. Namun aku tahu hatinya kosong. Bocah sebesar itu, pasti merasa terluka. Hanya saja dia terpaksa harus berpikir lebih dewasa dari usianya. Yang lebih menyakitkannya, tak ada kabar apapun lagi dari mereka. Setelah kepergian mereka ke Yunani, sepertinya semua telah berakhir, bahkan komunikasi melalui telepon pun tidak pernah dilakukan. Ori-lah perantara mereka. Segala keperluan Beraja, Ori-lah yang mengatur semuanya. Selama ini, dia selalu tampak tak peduli atas perlakuan orangtuanya, tapi rupanya perkiraanku salah. Luka itu masih terpendam di hatinya, bahkan mungkin dari tahun ke tahun semakin memburuk.
“Tiket ke Yunani?”
Ori tercengang mendengar apa yang kukatakan.
“Iya.”
“Tapi Chika...”
“Beraja tidak gila! Dia tidak aneh, dia hanya berbeda. Mereka harus tahu dan melihatnya sendiri.”
“Itu tidak mungkin Chika.”
“Ori, Beraja hanya memiliki kelebihan yang tidak kita punya. Kau tahu di sekolah dia anak yang jenius. Semua orang menyukainya. Dia hanya sedikit berbeda...itu saja...” Aku menatapnya dengan memelas.
“Apa dia tahu rencanamu?”
“Belum,” aku menggeleng.
“Aku tidak menyadarinya, kalau selama ini, yang membuatnya terluka adalah keadaan ini. Tidakkah kau mengerti Ori? Mungkin mereka hanya butuh kesempatan.” Ori terdiam mendengar perkataanku.
“Apa kau pikir dia pantas diperlakukan seperti ini oleh orang – orang yang seharusnya menjadi pelindungnya? Selama ini dia begitu bergantung padaku, dia pasti trauma untuk kehilangan seseorang lagi.”
“Iya Chika, aku tahu. Tapi sejujurnya, aku takut hal itu akan memperburuk segalanya.” Ori menghela napas.
“Satu kesempatan, Ori. Kumohon...”
Di bulan Mei, aku dan Beraja lulus dari bangku SMA. Aku bersyukur bisa melihatnya melalui semua ini. Di satu momen, dia menoleh padaku dan tersenyum diantara hilir mudik orang. Aku membalas senyumannya. Seperti biasa, hari itu dia membuat semua orang terpesona. Dia menjadi lulusan terbaik tahun ini.
Aku menatapnya yang sedang asyik membaca di ruang baca. Dia sadar kuperhatikan. Dia menoleh lalu menurunkan kacamata hingga ke ujung hidungnya.
“Kenapa menatapku seperti itu? Apa kau mulai tertarik padaku?” Godanya.
“Kakakmu akan mengadakan resepsi pernikahan akhir pekan ini. Kita pergi, yuk?” Ajakku tiba – tiba.
“Apa??” Dia tampak terkejut.
“Kau gila!”
“Beraja...”
“Aku membenci mereka!”
“Kita buat mereka menyadari kesalahan mereka.”
“Omong kosong! Aku tak akan pernah memaafkan mereka.”
“Jangan buat penilaian mereka terhadapmu benar. Kumohon...” Pintaku.
“Aku tak peduli dengan penilaian mereka. Memilikimu saja sudah cukup...” Ucapnya dengan pandangan mata meneduh. Aku tak tahu harus berkata apa lagi.
“Asal kau ada, aku akan baik – baik saja...” Dia menatapku untuk meyakinkan ucapannya.
“Beraja...”
“Aku sungguh – sungguh...” Dia memelukku.
Satu hal yang kusadari saat itu, tubuhnya gemetar. Begitu takutkah dia menghadapi semua itu? Apakah dalam hatinya dia begitu menderita?
“Aku sungguh – sungguh...” Ulangnya pelan.
Aku mengangguk.
“Ya...”
Ada sesuatu yang kurasakan dalam hatiku. Ada sesuatu yang hangat. Baru kali ini aku menyadari betapa aku sangat menyayanginya. Dibalik semua sifat menyebalkannya, dibalik semua luka yang dirasakannya, ada satu perasaan yang tak bisa dilukiskan.
“Oh ya, aku punya berita untukmu.” Dia melepas pelukannya.
“Apa?”
“Kita cuti setahun sebelum kuliah.” Usulnya tiba – tiba.
“Apa??”
“Iya. Aku ingin menghabiskan masa setahun ini dengan travelling bersamamu. Bagaimana?” Tanyanya antusias.
“Tapi...”
“Aku sudah membeli kamera dan handycam terbaru. Kita akan buat kenangan sebanyak – banyaknya.”
Aku hanya bisa tersenyum melihatnya bersemangat seperti itu. Kami tertawa. Akhir – akhir ini, Beraja semakin bisa mengendalikan dirinya dan kelebihannya. Dia mulai lebih terbuka. Aku begitu bersyukur.
Sejak hari itu, keadaan mulai kembali seperti biasa. Ya, setidaknya itulah yang kupikirkan. Beraja kadang terlihat sedang merenung. Aku tak tahu persis apa yang mengganggu pikirannya, tapi sepertinya dia memikirkan apa yang kupikirkan. Pergi ke Yunani. Kami seperti sama – sama melupakan hal itu dan menganggapnya tidak pernah terjadi, padahal tidak.
Malam ini aku tak bisa tertidur. Dari ruang baca Beraja, terdengar alunan lagu – lagu Chopin.
“Kita pergi...” Suara itu membuatku terperanjat dari tempat tidur.
Beraja sedang duduk di kursi dekat tempat tidurku, seperti biasa.
“Kita ke Yunani...” Lanjutnya.
Malam itu, dia memutuskan untuk menghadapinya. Dia hanya mengajukan satu syarat. Dia tak ingin mereka tahu kedatangannya. Aku cukup terkejut dengan keputusannya, tapi aku senang karena dia melangkah maju. Aku tahu ini pasti berat. Satu hal yang kutahu, keputusan ini akan mengubah hidupnya.
“Kau yakin akan pergi ke sana?” Tanyaku sebelum kami berangkat ke bandara.
Dia terdiam sambil berdiri di dekat jendela kaca bandara yang menghadap ke lapangan terbang.
“Ya, anggap saja ini travelling pertama kita.” Dia tersenyum, tetapi sepertinya menyembunyikan sesuatu.
Panggilan untuk penerbangan kami telah terdengar sejak beberapa saat lalu.
“Kalau begitu, ayo kita pergi.” Aku mengulurkan tanganku.
“Hmm.” Dia menyambutnya dengan wajah tertunduk. Dia menggenggam tanganku begitu erat. Apakah dia merasa takut?
“Beraja?”
“Ya?”
Kami terus melangkah.
“Aku ada bersamamu, kan?”
“Ya...”
“Kita lihat laut Aegean.”
“Ya...”
“Kita akan berjalan sampai malam sambil menikmati ice cream.”
“Ya...”
“Ceritakan tentang kuil Poseidon yang kausukai dan topeng Agamemnon yang terkenal itu, ya?”
“Ya...”
“Lihat matahari saat terbit dan terbenam bersama.”
“Ya...”
Dia hanya mengucapkan ‘ya’ sambil tertunduk dan berjalan di sampingku.
Jum’at siang, kami tiba di Yunani. Dari ibu kota Athens, kami langsung menaiki pesawat menuju kota tempat keluarga Beraja tinggal, tepatnya di Mycenae. Aku tidak begitu tahu tentang Yunani, tetapi begitu aku menghirup udaranya, aku merasa nyaman.
Setelah menyimpan barang – barang di hotel, kami pergi ke sebuah reruntuhan kuil dengan menaiki bis. Begitu tiba di sana, Beraja mengajakku berkeliling. Katanya reruntuhan ini adalah kuil Poseidon. Letaknya tepat di tepi pantai Argolis, atau lebih tepatnya di tanjung Sunium, semenanjung Attic. Di sana, laut yang biru terlihat sangat indah. Nuansa kuning tanah menyatu dengan kuil. Rasanya seperti berada di dunia lain. Saat itu, di sana sepi. Kami duduk di tanah sambil menatap laut.
“Kamu tahu kenapa kuil Poseidon ini dibangun?” Tanyanya.
“Nggak.”
“Air laut di sini tenang, tapi jika terjadi hujan badai yang biasanya turun dengan tiba – tiba, bagian perairan dangkalnya bisa mengakibatkan turbulence yang dahsyat. Karena itu, masyarakat di sini yang biasanya pergi melaut merasa perlu untuk membangun kuil ini untuk meminta perlindungan dari dewa laut Poseidon.” Jelasnya.
“Turbulence? Putaran air?”
“Yup. Yang kutahu katanya kuil ini dibangun pada tahun 440 sebelum Masehi”
“Sepertinya kamu punya kenangan khusus di tempat ini. Oh ya, bukankah kamu juga lahir di kota ini?”
“Ya, hanya sampai usia 3 tahun. Dulu, aku selalu pergi ke kuil ini bersama orangtuaku.” Dia tersenyum sambil terlihat mengenang masa – masa itu.
“Namamu juga didapat dari tempat ini, kan? Walaupun bukan bahasa Yunani.”
“Ya, katanya, waktu ibu hamil, ibu pergi ke tempat ini dan melihat bintang jatuh.”
Ya, Beraja, bintang yang jatuh dari langit.
“Sebenarnya, aku selalu bermimpi tentang tempat ini. Entah kenapa, sepertinya aku melihat diriku sendiri mati di tempat ini.” Katanya tiba – tiba.
“Hei!” Kudorong pundaknya karena mengejutkanku.
“Kalau aku mati...apa kau akan sedih, Chi?” Tanyanya sambil menoleh padaku.
Kami bertatapan. Bayangan air laut bergerak – gerak di wajahnya.
“Nggak. Aku akan lega.” Jawabku bohong.
Dia tidak tertawa.
Tak ada suara sedikitpun...
“Hei, cium aku dong.” Pintanya tiba – tiba.
“Gila!”
“Suasananya kan sudah romantis seperti ini.”
“Nggaaak...”
Wajahnya terus menerus mendekat dan aku sibuk mendorong wajahnya. Kami tertawa sambil melakukan hal bodoh itu. Sejenak tadi, aku merasa begitu terkejut. Kalau dia mati, apakah aku akan setegar yang aku kira? Apakah aku bisa melupakannya? Rasanya...itu akan sangat berat. Haah, bodoh! Kenapa dia menanyakan hal bodoh itu?
Sore itu terasa sangat indah. Kami bermain – main seperti anak kecil dan merekamnya. Suatu kali, dia melakukan hal yang indah. Saat kami berdiri berhadapan, tangannya bergerak – gerak pelan ke arah laut. Sulit kupercaya, tapi tiba – tiba saja, entah berapa butiran kecil air terbang ke arah kami. Dia menatapku dan butiran – butiran itu bergerak mengelilingi kepalaku.
“Mahkota untukmu.” Katanya.
Entah kenapa aku merasa terharu saat itu. Namun keharuan itu tidak bertahan lama, saat butiran – butiran air laut itu mencair dan membasahi rambutku.
“Ooops!” Dia cuma tersenyum jahil.
“Sorry...missed...” Lanjutnya.
“Awas, ya? Dasar bodoh.”
Dia malah tak berhenti menertawakanku.
Lalu, saat matahari terbenam, kami berdua menikmatinya sambil berpegangan tangan. Dia terlihat begitu tenang, tapi aku tahu dia pasti mengkhawatirkan hari esok. Ya, setelah sekian lama, dia akan melihat keluarganya lagi walaupun mereka tidak mengetahuinya.
Setelah melihat matahari terbenam, kami kembali naik bis menuju kota sambil menikmati ice cream yang kami beli di sebuah toko souvenir. Dia lebih banyak terdiam. Matanya selalu menatap pemandangan di luar jendela bis. Aku tak ingin mengganggunya dengan bertanya macam – macam atau menghibur. Aku tahu dia butuh untuk diam. Jadi kami hanya terdiam sepanjang perjalanan itu.
Tiba kembali di pusat kota, kami berjalan kaki menyusuri trotoar. Malam ini suasananya begitu ramai. Kami mencoba masuk ke beberapa restoran dan mencicipi masakan khas setempat sampai kenyang.
Beraja terlihat begitu lepas. Kini yang kukhawatirkan adalah perasaanku. Perasaan yang terus tumbuh tanpa bisa kuhentikan lagi, walaupun aku tahu mungkin setelah ini aku bisa kehilangannya. Aku menikmati waktu yang tersisa ini bersamanya.
Masa-masa dimana kami tumbuh bersama, melewati begitu banyak suka dan duka. Ada saatnya tangan ini berpegangan begitu erat, ada saatnya terlepas. Jalan ini mungkin masih panjang, tapi aku tak tahu apakah aku akan berjalan terus bersamanya.
“Goodnight.” Beraja tersenyum di depan pintu kamar hotelnya.
“Night...”
Kami masuk ke kamar masing-masing, tapi aku tahu Beraja tak akan tertidur malam ini. Mungkin dia akan menghabiskan waktunya dengan berjalan di luar, seperti yang selalu dia lakukan saat gelisah.
Malam itu aku tak bisa tertidur. Aku memikirkannya. Andai saja esok cepat datang dan berakhir dengan baik. Ya...aku harap semua berakhir dengan baik...
“KRIIIIIIIIIING!!!!!!”
Bunyi alarm langsung membangunkanku. Rasanya masih mengantuk karena semalam susah tidur. Eh? Kenapa rasanya berat sekali? Eh, apa ini? Apa???!!!
Beraja?! Cowok itu sedang tertidur di sampingku dengan lelapnya! Tangan kanannya memelukku dengan santainya!
“HE..” Omelan yang baru mau keluar dari mulut jadi tertahan karena melihatnya yang tampak tertidur damai. Dia selalu datang ke kamarku di saat sedang gelisah, tapi biasanya dia hanya duduk di kursi. Ini malah di sampingku! Memelukku lagi?! Dasar! Perlahan aku melepas tangannya. Dia pikir aku guling apa?!
“Dasar bodooh...kalau Ori dan ibu tahu...mereka pasti membunuhku...” gerutuku pelan dan gemas.
Tapi entah kenapa, aku malah terus menatapnya. Si cowok imperialis ini tampak sangat berbeda saat sedang tertidur. Tampak lebih manusiawi. Mulutnya sedikit terbuka, dan rambutnya berantakan. Dia akan menggeliat seperti bayi, lalu menggumam seperti bocah yang merajuk. Entah kenapa lagi, aku merasa akan kehilangannya...mungkin aku tidak akan melihatnya seperti ini lagi...mungkin yang akan kulihat nanti adalah punggungnya yang membelakangiku dan pergi...
Aku terus menatapnya seperti itu. Menyimpan lekat – lekat sosoknya dalam ingatanku. Membiarkan waktu berlalu walaupun itu berarti kami akan telat pergi ke butik.
Pukul 9 pagi, kami tergesa – gesa pergi ke sebuah butik sekaligus salon di sebuah pusat perbelanjaan di Mycenae. Kami menyewa setelan jas dan gaun untuk pergi ke resepsi pernikahan kakak Beraja siang ini.
“Please turn this ugly duck into a beautiful swan.” Pintanya pada seorang wanita yang bekerja di butik itu. Tidak sopan!
“Not a problem.” Kata pelayan itu sambil tersenyum.
Aku menatapnya dengan sebal dan khawatir.
Dia cuma melambaikan tangan kirinya sambil tersenyum jahil.
Wanita di butik itu memilihkanku sebuah gaun berwarna creme pastel yang sangat lembut, sebuah gaun bergaya wanita Yunani jaman dahulu namun sangat simple dan manis.
Setelah selesai didandani dan keluar dari ruang ganti, Beraja sudah berdiri di depan cermin dengan kemeja dan jas yang senada dengan gaunku. Dia menatapku sambil tersenyum.
“Bagaimana?” Tanyaku.
“Sial, kau cantik sekali.” Pujinya dengan wajah merah tanpa menatapku. Dasar pelit pujian! Kenapa harus pakai awalan ‘sial’ sih?!
Kami menaiki taksi menuju ke tempat resepsi pernikahan. Sebuah pesta terbuka di tempat yang sangat indah. Saat kami tiba di sana, pesta sudah berlangsung. Terdengar alunan musik khas Yunani mengalun. Nuansa biru dan putih tetap dominan.
Beraja memegangtanganku. Aku menoleh padanya, dia menatap lurus ke depan. Kugenggam tangan itu lebih erat. Tangannya dingin. Kami melangkah masuk dan disambut beberapa orang Indonesia yang hadir di sana.
Suara tawa dan nuansa kebahagiaan begitu terasa di tempat itu. Terlihat di depan sana, orang – orang yang hanya kukenal lewat foto tengah berkumpul bersama di sebuah meja besar. Hatiku terasa miris. Di antara orang – orang itu, tak ada Beraja di sana. Beraja menatap mereka dengan lurus tanpa ekspresi sedikit pun. Pegangan tangannya melonggar.
“Dugg!” Tiba – tiba seorang anak kecil yang sedang berlari menabrak tubuh Beraja hingga anak itu terpental dan jatuh.
“Are you ok?” Tanyaku sambil menghampirinya.
Beraja hanya terdiam sambil menatap anak kecil itu.
“I’m ok.” Jawab anak kecil itu sambil membersihkan kotoran yang menempel di lengan bajunya.
Tiba – tiba Beraja mengulurkan tangannya pada bocah lelaki itu. Anak itu menatapnya.
“Thanks.” Anak itu berdiri sambil menahan pada pegangan tangan Beraja. Terlihat Beraja terus menatapnya sambil menunduk. Tangannya perlahan bergerak menyentuh rambut anak itu. Tanpa mengatakan apa – apa, dia cuma tersenyum tipis.
Anak itu kembali berlari, meninggalkan Beraja yang tetap berdiri di sana. Sepertinya terpaku. Aku menatapnya. Ada sesuatu...
“Dia...adikku.” Katanya sambil menoleh ke arahku dan tersenyum ketir.
“Beraja...”
“Dia sangat bahagia.” Lanjutnya sambil menatap ke depan lagi.
Aku hanya bisa terdiam menatapnya. Apa yang kaurasakan saat ini? Apa yang sedang kaulihat? Apakah ini memang bisa membuatmu berhenti?
Beraja menatap kosong ke arah orang – orang yang sedang berdansa.
Lelaki yang sedang berdansa itu, pasti kakak Beraja. Wajahnya hampir mirip. Wanita di sampingnya adalah pengantinnya, seorang wanita asing. Lalu, yang masih duduk di meja besar, adalah seorang wanita yang kira – kira berumur empat puluhan. Apakah itu ibunya? Dia sangat cantik dan masih terlihat muda. Disampingnya ada seorang lelaki berumur 50 tahunan sedang tertawa bahagia.
Aku terdiam. Apakah di saat membahagiakan seperti ini...mereka masih mengingat Beraja? Apakah...pernah terlintas di benak mereka...tentang anak yang telah mereka campakkan? Pernahkah ibunya menangisi ketidakberdayaannya sebagai seorang ibu karena meninggalkan anaknya? Tidak seperti Beraja yang terus meratapi hal itu hari demi hari.
“Ayo, kita berdansa.” Ajaknya tiba – tiba sambil tersenyum.
Dia menuntunku menuju lantai dansa saat irama swing mulai mengalun. Kami saling terdiam saat berdansa.
“Tadi saat kita masuk, beberapa orang cowok genit memperhatikanmu.” Bisiknya tiba – tiba.
“Oh ya? Sayang, aku sudah punya cowok genit satunya lagi.” Candaku.
“Kau mau kucium, ya?” Dahi kami bersentuhan.
“Apa kau tidak bisa memikirkan hal lain selain ciuman?” Kami bertatapan.
“Nggak.”
Kuinjak kakinya.
“Auch!” Rintihnya tertahan.
Aku tahu dia pasti merasakan sesuatu saat melihat keluarganya. Aku tahu mungkin dia akan terluka. Tapi, saat ini aku tidak ingin mengatakan atau menanyakan apapun padanya. Aku tak ingin mengusiknya.
Kurebahkan kepalaku di pundaknya. Kami saling terdiam, hanya bergerak mengikuti alunan lagu. Detak jantungnya terdengar. Deg..deg..deg..
“Chii...”
“Ya?”
“Nggak, aku cuma ingin memanggil namamu saja.”
“Untuk apa?”
“Entahlah, mungkin aku akan setengah mati merindukanmu.”
Mendengar itu aku kaget.
“Memangnya kau akan pergi?” Tanyaku.
Dia terdiam. Aku tak menyadari apa yang sedang terjadi hingga mataku benar – benar melihatnya. Kulihat, ibu Beraja tengah melihat ke arah kami. Dia terdiam menatap Beraja dengan terkejut. Sepertinya...dia mengenali Beraja...
Alunan musik terhenti. Aku menatap Beraja mencoba melihat reaksinya, tapi dia terlihat begitu tenang.
“Temani aku.” Katanya tiba – tiba sambil menuntun tanganku dan melangkah pelan menuju tempat keluarganya yang sedang berkumpul. Aku menatapnya dengan terkejut. Melihat sosoknya yang melangkah dengan pasti dan lurus, walaupun tangannya gemetar.
Keluarga bahagia itu melihat ke arah kami begitu kami mendekat, namun sepertinya hanya ibunya yang sadar dan terpaku melihat kedatangan Beraja.
Mereka tersenyum seperti menyambut ucapan selamat dari tamu yang lainnya. Mereka segera berdiri begitu kami berdiri di hadapan mereka.
Beraja menatap mereka. Kueratkan pegangan tanganku padanya.
“Congratulation.” Katanya sambil menjabat tangan kakak dan ayahnya.
“Thank you.” Mereka menjabat tangannya dengan penuh senyum tanpa menyadari sedikit pun.
“Hope you can please yourself here. Enjoy it.” Kata kakak lelakinya. Tampaknya dia sedikit bingung melihat kedatangan kami yang tak dikenalnya. Tapi sepertinya dia tetap mencoba bersikap ramah.
Saat tiba Beraja menjabat tangan ibunya, wanita itu menjabatnya dengan ragu.
“You look very beautiful, maam...” Pujinya sambil tersenyum.
“Thank you for inviting us here...” Beraja melangkah mundur dengan pelan, kemudian membalikkan badannya.
Wanita itu tak lepas menatapnya walaupun Beraja sudah berlalu menuju keramaian.
“Beraja? Apa begini tidak apa – apa? Apa boleh dibiarkan seperti ini?” Tanyaku sambil mengikuti langkahnya.
Dia menoleh padaku sambil tersenyum dengan tenang.
“Let’s get out of here.” Katanya sambil kembali menuntun tanganku.
“Beraja!!”
Tiba – tiba teriakan itu terdengar!
“Beraja!!”
Itu teriakan ibunya!!
Saat aku menoleh ke belakang, kulihat ibunya mengejar kami. Namun Beraja tak berhenti. Dia terus berjalan tanpa menoleh lagi.
“Beraja...” Kutahan tangannya.
“Beraja...” Kuhentikan kangkahku.
Semua orang menatap kami dengan heran. Termasuk ayah dan kakaknya.
“Beraja??”
“Kita berhenti di sini. Berhentilah...kita berhenti...” Pintaku sambil menatap punggungnya yang membelakangiku. Suaraku bergetar...tenggorokanku tercekat...kalau aku memanggilnya sekali lagi, suaraku tak akan keluar...
Lelaki itu akhirnya berhenti dan terdiam, tapi dia tidak berbalik sedikit pun.
Suasana terasa hening. Musik pun berhenti. Para tamu tampak berbisik-bisik dan heran.
Tangan Beraja menggenggam tanganku dengan begitu erat.
“Tunggu aku...di tempat itu...” Ucapnya tiba – tiba padaku.
“Kita pulang bersama ke Indonesia...” Lanjutnya sambil menoleh dan tersenyum lembut.
Aku tersenyum lega.
“Ya...”
Tangan kami terlepas. Sosoknya saat itu, masih kuingat dengan jelas. Melihatnya berdiri sendirian di sana menghadapi apa yang dia cari selama bertahun – tahun. Apakah dia akan menemukannya? Apakah dia akan berhenti?
Aku tak bisa menahan airmataku saat melihat ibunya berlari memeluknya...
Aku berdiri sendirian di reruntuhan kuil Poseidon sambil menatap langit senja. Aku menunggunya sambil merekam dan mengambil beberapa momen bagus untuk menggantikan waktunya yang hilang.
“Hei...ini matahari terbenam yang tidak bisa kaulihat hari ini...” Ucapku sambil merekam matahari yang sedang tenggelam dan berbicara sendirian.
“Oh ya...sebenarnya...aku mengkhawatirkanmu...”
“Walaupun kau mengatakan kita akan pulang bersama...aku merasa tak percaya diri. Kurasa, ini adalah pertemuan terakhir kita. Tapi kuharap kau akan bahagia. Aku tahu yang terbaik untukmu sekarang adalah memperbaiki segalanya. Kau lihat? Ibumu sepertinya sangat merindukanmu. Dari caranya menatapmu saja, semua orang akan tahu kalau dia menyayangimu. Jadi, jangan tergesa – gesa...”
Kini kurekam wajahku sendiri.
“Lihat, matahari terbenam...shuuu...” Kuumpamakan kepalaku sebagai matahari yang perlahan terbenam di kamera.
“Nggak lucu, ya?”
Kumunculkan lagi wajahku.
Matahari sudah lama terbenam. Hatiku terasa makin tak tenang.
“Mungkin kau akan merindukanku. Jadi, lihat baik – baik wajah ini, ya? Aku menyisakannya untukmu.” Aku tersenyum seperti orang narsis.
“Ini wajahku saat marah.” Kuperlihatkan mimik wajahku saat marah.
“Ini waktu sedih.”
“Lalu ini waktu tertawa...hohoho....”
“Ini waktu kesal.”
“Ini..waktu kaget! Apa??”
“Ini..waktu lagi baik.”
“Ini..waktu lagi heran.”
“Ini...waktu memikirkan sesuatu...”
“Ini...”
Entah kenapa, airmataku tiba – tiba jatuh. Bodoh sekali. Kenapa aku harus sedih seperti ini?
“Ini...nggak beneran lho...aku berbakat jadi aktris kan? Ini...waktu lagi nangis....”
Aneh, airmataku tak bisa berhenti mengalir. Rekaman itu kumatikan dan kutinggalkan di tempat kami duduk kemarin. Ini sudah pukul dua malam, dan Beraja tidak datang...
Ada perasaan yang sangat menyedihkan, tapi aku tahu ini akan terjadi. Akhirnya, aku memutuskan untuk meninggalkan Yunani pagi itu dengan tiket yang telah kami beli untuk pulang. Aku tak ingin kehadiranku membuatnya terburu – buru. Aku ingin dia menikmati masa ini tanpa gangguan. Walaupun mungkin...itu akan membutuhkan waktu yang sangat lama...